Antara Dendam dan Penyesalan

Bab 2



Di malam yang gelap, Selena menuju ke kamar mandi sendirian.

Air panas menghilangkan rasa dinginnya. Dia menggosok-gosok matanya yang merah dan bengkak seraya berjalan ke sebuah kamar. Begitu Selena membuka pintu kamar itu, tampak di depan matanya sebuah kamar anak-anak dengan dekorasi yang penuh kehangatan.

Dia dengan lembut menggoyangkan lonceng. Alunan musik dari kotak musik pun terdengar di dalam ruangan. Lampu yang ada ruangan itu terlihat kuning dan redup. Itu jelas-jelas merupakan pemandangan yang menghangatkan, tetapi Selena tidak bisa menghentikan air matanya yang mengalir dengan deras.

Mungkin ini adalah karma bagi dirinya. Dia telah gagal melindungi anaknya, sehingga Tuhan ingin mengambil nyawanya.

Selena naik ke ranjang sepanjang 1,2 meter dan meringkukkan badannya seperti seekor udang kecil. Air mata dari mata kirinya mengalir ke mata kanannya, kemudian meluncur ke pipinya, membasahi selimut bayi yang ada di bawahnya.

Dia bergumam pelan sambil menggenggam sebuah boneka dengan erat, “Maafkan Ibu, Nak. Ini semua salah Ibu. Ibu tidak bisa melindungimu. Jangan takut, Ibu akan segera menemanimu di sana.”

Setelah kematian anaknya, dia selalu tidak bersemangat, seperti bunga segar yang layu secara perlahan.

Selena memandangi kegelapan malam sambil berpikir, asalkan dia meninggalkan sejumlah uang ini untuk ayahnya, maka dia bisa pergi menemui bayinya.

Keesokan paginya, walau langit belum terang, Selena sudah berpakaian dengan rapi. Dia menunduk dengan wajahnya yang tersenyum sambil melihat surat nikah.

Dalam sekejap mata, sudah tiga tahun berlalu.

Selena secara khusus membuat sarapan yang menyehatkan untuk lambungnya. Meskipun dia tidak akan berumur panjang, dia tetap ingin hidup selama mungkin untuk merawat ayahnya.

Baru saja hendak keluar dari rumah, Selena menerima telepon dari rumah sakit, “Bu Selena, Tuan Arya mengalami serangan jantung mendadak dan telah diantar ke unit gawat darurat.”

“Aku akan segera ke sana!” serunya.

Selena langsung bergegas menuju ke rumah sakit. Operasinya masih belum selesai. Dia menunggu di luar ruang operasi dengan mengepalkan kedua tangannya. Selena telah kehilangan segalanya, satu-satunya hal yang bisa diharapkannya adalah sang ayah bisa hidup dengan baik.

Perawat yang berada di samping menyerahkan setumpuk kertas sambil berkata, “Bu Selena, ini adalah biaya perawatan darurat serta operasi untuk kejadian yang terjadi secara mendadak pada ayahmu barusan.”

Selena melihat rincian biayanya, ternyata mencapai dua ratusan juta rupiah.

Biaya pemulihan harian ayahnya setiap bulan mencapai 100 juta rupiah. Dia menjalani tiga pekerjaan sekaligus untuk bisa menutupi semuanya. Dia baru saja membayar biaya rawat inap untuk bulan ini. Sekarang hanya tersisa uang sebanyak 10 juta rupiah di dalam kartu ATM-nya, mana cukup untuk operasi?

Selena terpaksa menelepon Harvey. Harvey pun berkata dengan dingin, “Kamu di mana? Aku sudah menunggumu selama setengah jam.”

“Aku ada urusan darurat, tidak bisa pergi.”

“Selena, memangnya menyenangkan kalau seperti ini?” Harvey tersenyum dingin sambil berkata, “Sudah kuduga, mana mungkin kamu tiba-tiba mengubah sifatmu? Kebohongan yang kamu karang ini sangat murahan. Apa kamu anggap aku ini orang bodoh?”

Pria ini benar-benar mengira Selena telah berbohong, Selena pun menjelaskan, “Aku tidak berbohong padamu. Dulu memang aku yang masih tidak terima. Aku mengira kamu melakukan ini padaku karena kamu punya kesulitan yang sulit untuk dijelaskan. Tapi sekarang aku sudah mengerti. Janji pernikahan seperti ini sejak awal tidak diperlukan. Aku rela bercerai denganmu. Aku tidak datang karena penyakit jantung ayahku kambuh dan harus dioperasi ... ”

“Apa dia sudah mati?” tanya Harvey. Selena merasa aneh, mana ada orang yang akan berbicara seperti ini?

“Belum, sedang dilakukan penyelamatan. Harvey, biaya operasinya mencapai dua ratusan juta rupiah. Bisakah kamu memberikan 20 miliar rupiah dulu kepadaku? Aku berjanji, aku akan bercerai denganmu!”

Pria itu menjawab sambil tertawa, “Selena, sebaiknya kamu mengerti. Aku memang paling berharap ayahmu mati. Aku bisa memberimu uang, tapi setelah mendapatkan akta cerai.”

Kemudian terdengar nada sibuk dari ponsel. Wajah Selena terlihat tidak percaya. Dia ingat bahwa Harvey masih sangat menghormati ayahnya ketika mereka masih berpacaran. Namun, nada kebencian yang terdengar dari ponsel tadi sama sekali tidak lucu.

“Harvey ingin ayahku mati? Kenapa?” tanyanya dalam hati. Jika dihubungkan dengan kebangkrutan Keluarga Bennett pada dua tahun yang lalu, semuanya tampak semakin jelas. “Mana mungkin begitu kebetulan?”

“Mungkin Harvey yang telah membuat Keluarga Bennett bangkut, tetapi apa kesalahan yang telah diperbuat oleh Keluarga Bennett pada Harvey?” pikir Selena lagi.

Selena tidak bisa terlalu banyak berpikir. Hal yang terpenting saat ini adalah dia harus mengumpulkan uang dua ratusan juta rupiah untuk biaya pengobatan terlebih dahulu.

Saat pintu ruang operasi terbuka, Selena bergegas melangkah maju dan bertanya, “Dokter Albert, bagaimana dengan kondisi ayahku?”

“Bu Selena, jangan khawatir. Tuan Arya sangat beruntung bisa melewati kondisi kritis. Tapi secara psikologis dia masih terlalu lemah. Untuk sementara waktu ini, jangan sampai emosinya terguncang lagi.”

“Aku mengerti.” Selena menghela napas lega dan berkata, “Terima kasih, Dokter Albert.”

Saat Arya masih dalam keadaan koma, Selena bertanya pada perawat, “Kondisi mental ayahku cukup baik, mengapa dia tiba- tiba mengalami serangan jantung?”

Perawat itu segera menjawab, “Suasana hati Tuan Arya belakangan ini sangat gembira. Tuan Arya juga bilang bahwa dia ingin makan pangsit udang atau semacamnya. Aku pikir hanya perlu sepuluh menit lebih untuk perjalanan pergi dan kembali ke sini. Jadi aku pergi untuk membelikan bubur buat Tuan Arya. Saat aku kembali, dia sudah diantar ke unit gawat darurat. Bu Selena, ini semua salahku!”

“Apakah ayahku bertemu dengan seseorang sebelum kamu pergi?”

“Tidak, tidak ada yang berbeda pada diri Tuan Arya sebelum aku pergi. Dia bahkan mengatakan kalau kamu menyukai kue apam di Restoran Rindani, sehingga dia juga memintaku untuk membelinya. Siapa yang menyangka tiba-tiba hal ini terjadi ... ”

Selena selalu merasa bahwa hal ini tidak sesederhana yang terlihat. Setelah meminta perawat itu agar merawat Arya dengan baik, dia berjalan dengan cepat menuju ke ruang perawat untuk menanyakan tentang registrasi pengunjung.

“Bu Selena, tidak ada yang mengunjungi Tuan Arya pagi ini,” jawab seorang perawat.

“Terima kasih.”

“Oh ya, Bu Selena, apakah biaya Tuan Arya sudah dilunasi?”

Dengan wajah yang terlihat canggung, Selena berkata, “Aku akan segera melunasinya, maaf.”

Dia keluar dari ruang perawat dan memesan taksi untuk bergegas menuju ke Kantor Catatan Sipil. Namun, di mana sosok Harvey?

Selena dengan cemas menghubungi nomor ponsel Harvey. “Aku sudah sampai di Kantor Catatan Sipil, di mana kamu?” tanyanya.

“Di kantor.”

“Harvey, bisakah kamu datang untuk melakukan administrasi perceraian sekarang?” Harvey mencibir dan berkata, “Menurutmu mana yang lebih penting, negosiasi kontrak senilai triliunan rupiah atau dirimu?”

“Aku bisa menunggumu menyelesaikan negosiasi kontrak. Harvey, anggap saja aku memohon padamu, ayahku sangat membutuhkan uang saat ini,” kata Selena.

“Jika dia meninggal, aku yang akan membayar biaya pemakamannya,” ujar Harvey. Setelah mengatakan itu, Harvey pun menutup panggilan telepon. Ponselnya sudah tidak aktif ketika dicoba untuk dihubungi lagi. Guyuran hujan yang lebat bagaikan jaring besar mengurung diri Selena. Hal ini membuatnya tidak bisa bernapas di dalamnya.

Dia berjongkok di bagian bawah halte bus sambil melihat jalan yang penuh dengan orang yang lalu-lalang, Selena terlihat menyesal.

Jika tidak mengambil cuti dari studinya karena hamil, Selena pasti sudah mendapatkan ijazah kelulusannya sekarang. Dengan kemampuan dan pendidikannya, dia akan memiliki masa depan yang sangat cerah.

Siapa sangka Keluarga Bennett akhirnya bangkrut? Harvey yang awalnya memperlakukannya seperti harta yang berharga, tiba- tiba berubah. Selena kehilangan segalanya dalam waktu yang singkat.

Setahun yang lalu, Harvey meminta seseorang untuk mengambil semua perhiasan dan tas bermerek milik Selena. Satu-satunya barang berharga di tubuhnya saat ini adalah cincin kawin mereka berdua. Selena melepaskan cincin itu, lalu berjalan masuk ke sebuah toko perhiasan kelas atas dengan langkah mantap.

Sambil mengamati Selena yang mengenakan pakaian murah dalam kondisi basah kuyup, pelayan toko berkata, “Nona, apakah kamu membawa faktur dan bukti pembeliannya?”

“Ya, aku bawa.” Selena berpura-pura tidak melihat pelayan toko itu sedang mengamati dirinya. Dia menundukkan kepala dan menyerahkan faktur dengan segera.

“Oke, Nona. Kami perlu mengirimkan cincin ini untuk pengecekan keaslian. Besok baru aku beri tahu hasilnya, bagaimana?”

Selena menjilat bibirnya yang kering dengan sedikit cemas, lalu berkata, “Aku sangat membutuhkan uang, bisakah prosesnya lebih diperepat?”

“Oke, aku akan mencoba yang terbaik. Nona tunggu sebentar ... ”

Sebelum pelayan toko sempat mengambilnya, tiba-tiba ada sebuah tangan putih dan halus menekan tutup kotak perhiasan itu sambil berkata, “Cincin ini sangat indah, aku menginginkannya.”Content is © 2024 NôvelDrama.Org.

Saat Selena mendongak, terlihat wajah yang membuatnya jijik, ternyata Agatha!


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.